Tik..
Tok.. Tik.. Tok.. Tik….
Suara detikan jarum jam di ruangan gelap ini membuat jantungku terasa ingin
keluar dari tempatnya. Perkenalkan aku Ajeng Rahayu, aku adalah lulusan dari
UNS atau yang sering di sebut Universitas Sebelas Maret, aku lulusan S1 Sastra
Jawa.
Di sini
hanya ada aku, gelap, dan benda-benda hebat yang pernah ada di Indonesia.
Sekarang tepat pukul 01.00 WIB, dan aku berada di ruang koleksi seorang
rentenir terkenal di Desaku. Koleksi ini bukanlah hal yang benar menurutku,
karena koleksi-koleksinya ini akan di jual ke Negara lain dengan cara di
selundupkan. Ya, mereka tidak mendapat izin dari Negara untuk memperjual
belikan barang-barang ini, tapi si rentenir tolol itu tetap saja menjualnya.
Kalian harus tahu bahwa benda-benda koleksi rentenir tolol yang bernama Pak
Norman ini bukan hanya sekedar benda ecek-ecek yang di perjual belikan di
pasar, melainkan ini adalah harta Negara. Harta Negara yang kumaksud bukanlah
uang ataupun emas yang berlimpah, melainkan Budaya Indonesia. Budaya yang
seharusnya di lindungi malah di jual oleh rentenir tolol itu. Sebenarnya aku
adalah pimpinan dari suatu sindikat yang di cari-cari oleh polisi, yaitu
sindikat jubah hitam. Anggota sindikat jubah hitam adalah aku, Ila Keila dan
Dimas Dirgantara.
Huuufft..
Hampir saja aku mati karena loncat dari lantai 2 ruangan tadi. Aku berhasil
mengambil barang yang akan di jual rentenir tolol itu, benda itu berupa DVD
yang berisi gerakkan 5 tarian khas Indonesia, yaitu tari saman, tari kecak,
tari orek-orek, tari remo dan tari jaipong. Benda yang lain berupa beberapa
alat untuk menarikan tarian orek-orek dan tari saman, aku jelas tahu apa yang
akan di lakukan orang-orang yang membeli barang-barang ini, pasti mereka ingin
mengklaim budaya Indonesia. Setelah aku loncat dari lantai 2 tadi, aku harus
berjumpa lagi dengan teman-teman sindikatku. Ya, mereka memang ku suruh untuk
berjaga di bawah.
“Ayo,
aku sudah berhasil mengambil barangnya.” ucapku pelan ketika aku sudah berhasil
menemukan mereka, dan kami mulai berjalan mengendap-endap.
“Kau
yakin itu barangnya?” tanya Dimas memastikan.
“Tentu
saja ini barangnya, Dim. Kali ini kita ke manakan barang ini?” tanyaku sambil
menunjuk tas besar yang berada di punggungku.
“Besok
kita akan paketkan barang-barang itu ke museum yang berada di kota. Biar mereka
saja yang mengamankan.” jawab Dimas saat kami sudah hampir sampai di tempat
parkir mobil sindikat kami. Seusai penjelasan Dimas, kami langsung berlari
menuju mobil PW hitam itu.
Blaammm…
Suara pintu mobil yang kami tutup telah membangunkan anjing penjaga rumah itu,
anjing itu mengaung-aung untuk memanggil si majikan. Tapi, dengan sigap Dimas
langsung melajukan mobil kami untuk pergi dari tempat biadap ini.
“Woi,
komplotan jubah hitam!! kembalikan barangku!!” teriak Pak Norman si rentenir
tolol itu yang baru saja keluar dari rumah saat mendengar gonggongan anjing
penjaga rumah. Tentu saja kami tak menghiraukan teriakkan rentenir tolol itu.
“Ila,
besok kau paketkan barang-barang ini ke museum yang berada di Jogja. Terserah
mau museum yang mana.” ucap Dimas datar.
“Baiklah,
Dim. Itu sangat mudah untuk seorang Ila.” jawab Ila sambil membanggakan diri.
“Ajeng,
apa yang kita lakukan ini sudah benar?” tanya Ila secara tiba-tiba padaku.
“Hei,
Ila. Tentu saja ini benar, walaupun cara kita sedikit salah. Kita menyelamatkan
harta Negara. Seharusnya Pak Presiden berterima kasih pada kita, bukannya
melacak sindikat kita. Aku sedih dengan keadaan Indonesia sekarang. Banyak
orang yang tidak mau mempelajari budaya sendiri. Apa perasaan kalian sama
denganku?” tanyaku balik pada kedua Sahabatku.
“Kami
juga merasa begitu.” jawab keduanya kompak. Tak butuh waktu lama kami sudah
sampai di markas rahasia kami yang terletak di perbatasan Desa.
Brraaakk..
Suara pintu berwarna hitam itu di tutup oleh Ila. Aku berjalan menuju kursi
kayu sederhana yang berada di sudut ruangan lalu aku menaruh tas besar yang
berisi barang-barang tadi. Sementara Ila bersandar di pintu, sedangankan Dimas
lebih memilih untuk bersandar di dekat jendela.
“Setelah
misi ini apakah ada misi yang lain, Ila?” tanyaku memecah keheningan.
“Hmm,
menurutku belum ada.” ucap Ila sambil memegang benda elektronik yang berbentuk
pipih itu. Ya, memang dari sindikat kami yang paling mengerti tentang benda
Elektronik adalah Ila, maka ia kami percaya untuk membuat jejaring sosial. Dari
situlah ia mendapat berbagai informasi, terkadang ia juga browsing internet
untuk mendapat informasi kejahatan-kejahatan. Aku menghela nafas saat mendengar
jawaban dari Ila. Aku yakin Ila saat ini sedang browsing internet tentang biaya
pengiriman paket melaluli via JNE.
“Untuk
mengirim paket ke museum kita butuh uang Rp 30.000,00. Menurutku itu tidak
masalah. Bagaimana?” tanya Ila, benarkan dugaanku tentang Ila yang sedang
browsing di via JNE.
“Menurutku
juga tidak masalah. Besok kau harus segera mengirimnya, Ila!!” perintah Dimas.
“Baik
Tuan cerewet.” jawab Ila sewot.
“Aku
lelah, aku ingin istirahat.” ucapku bangkit dari posisi dudukku dan berjalan
menjauh dari mereka.
“Ahh,
tunggu, satu lagi. Kalian ingatkan perjanjian kita bila kita sudah tak bisa
lagi melakukan apa-apa untuk Indonesia?” tanyaku tiba-tiba tanpa membalikkan
badanku.
“Tentu
kami masih ingat. Bila kita sudah tak berguna, kita akan menyerahkan diri pada
Polisi dan bersedia menjalani hukum yang berlaku, tapi sebelum itu Pak Presiden
harus berterima kasih dulu pada Sindikat Jubah Hitam.” jelas Ila mengungkapkan
janji yang dulu pernah kami ikrarkan.
“Bagus.”
jawabku singkat lalu melanjutkan langkahku menuju kamar.
“Dia
terlalu pesimis. Maksudku pesimis bahwa kita tak berguna untuk Bangsa. Benar
bukan?” tanya Dimas saat aku sudah meninggalkan ruangan bernuansa klasik tadi.
Padahal aku masih mendengar percakapan mereka.
“Bukan
begitu, Dimas. Ajeng hanya takut bila kita tertangkap dan masih banyak
kejahatan di luar sana yang belum terselesaikan.” jawab Ila sinis.
“Hei,
Indonesia adalah Negara Hukum. Bukan negara sekumpulan orang bodoh yang
membiarkan banyak kejahatan di mana-mana.” balas Dimas tak kalah sinis.
Hhhh..
Aku menghela nafas saat mendengar ke 2 sahabatku ini berdebat.
“Iihh,
Dimaass” jengkel Ila sambil menghentak-hentakkan kakinya.
“Hmmpp”
tawaku yang tertahan membuat mereka tersadar bahwa aku masih berada di dekat
ruang tempat mereka beradu mulut.
Dan
kekehanku yang tertahan mengakhiri pertemuan kami pagi ini. Benar saja ini
sudah pagi, sekarang sudah pukul 02.11 WIB. Akhirnya kami bergegas untuk tidur
di kamar masing-masing.
Keesokkan
harinya tepat pukul 08.05 WIB Ila baru saja pulang dari memaketkan Harta
Indonesia yang kami cintai. Ila yang sedang membaca koran yang ia beli langsung
menghampiri aku dan Dimas yang sedang bermain catur.
Brraass,
suara koran yang di hempaskan Ila di atas papan catur membuat aku dan Dimas
terkejut. Aku langsung meraih koran itu, sementara Dimas menatap Ila heran.
“Apa?
penyelundupan burung elang Jawa? dan pakaian adat Jawa?” tanyaku menaikkan
sedikit frekuensi suaraku.
“Yup,
kita harus bertindak. Polisi terlalu tolol untuk melacak mereka, aku sudah
menemukan tempat transaksi itu. Tepatnya ada di pelabuhan Galimanuk berada di
selat Bali. Apa kita akan ke sana? kita butuh waktu 3 jam dari sini.
Bagaimana?” jelas Ila.
“Segera
bersiap kita akan ke sana.” seru Dimas sambil berdiri lalu pergi.
Brumm..
Suara deruan mobil-mobil yang berlalu lalang di jalan raya, untung saja kami
tidak terhalang oleh macet. Kami sudah hampir sampai di pelabuhan yang
menghubungkan antara Jawa dan Bali. Di sepanjang perjalanan kami menyusun rencana
untuk bisa merebut kembali biota alam Indonesia & Budaya Indonesia
tersebut. Polisi memang tolol tidak bisa melacak keberadaan mereka, mereka
hanya mendapat kabar angin tentang hal tersebut. Ciiitt, suara decitan rem
mobil membuat kami siap siaga untuk menjalankan siasat kami.
“Sekarang!!
Bergerak!!” seru Dimas lantang. Kami langsung keluar dari mobil dan berlari ke
tempat masing-masing. Kami hanya berbekal senjata api. Tapi, sebenarnya kami
tak pernah menggunakan senjata api yang berisikan peluru. Kami hanya
menggunakan senjata api yang berisikan cairan-cairan yang bisa melumpuhkan
penjahat. Seperti saos, sambal dan parfum yang berbau mematikan. Kami bergerak
sesuai rencana yang di susun oleh Dimas.
Saat
Dimas memberi kode, barulah kami menarik topeng betawi yang kami gunakan untuk
menutupi wajah kami. Selama kami bersindikat jubah hitam, tidak ada satu pun
yang mengetahui wajah kami. Itulah yang membuat pemerintah jengkel pada kami,
karena tak bisa mengetahui siapa kami. Dimas maju dengan gagah, ia menodongkan
senjatanya dan berucap
“Jangan
bergerak! hentikan transaksi ini, atau kalian berurusan dengan kami.” Aku pun
terkagum-kagum karenanya.
“Hahahaha..”
gelak tawa para transaksi gelap itu membuat aku, Ila dan Dimas bingung.
“Ternyata
sindikat jubah hitam sangat mudah di jebak. Tangkap mereka. Aku Suwarji, Polisi
dari Polda Metro Jaya.” Ucap salah satu dari mereka sambil menunjukkan dompet
yang berisikan identitasnya.
Seketika
kami terkejut oleh ucapan orang tua itu. Aku, Ila dan Dimas langsung panik.
Seketika dari belakang kami masing-masing ada orang yang menjerat kami dengan
besi bulat yang melingkar di pergelangan tangan kami.
“Sial.”
umpatku. Kami di bawa ke kantor Polisi terdekat untuk di tahan sementara waktu
di tempat itu.
Hah?
Kejutku saat aku membaca sedikit berita di kantor Polisi. Aku melihat berita
itu di dinding informasi orang yang di cari.
“Ila,
identitas kita belum terbongkar. Bisakah kau cari tahu tentang sindikat
organisasi Red Criminal. Organisasi jahat berasal dari Belanda sedang ada di
Indonesia, di duga mereka menyebarkan barang terlarang di Indonesia, tepatnya
ada di Bali. Polisi tidak becus untuk mengatasi mereka. Aku pernah mendengar
organisasi ini selain menyebar barang Terlarang, mereka juga pernah mencuri
Harta Suatu Bangsa. Bila mereka di Indonesia, mereka sedang mengincar Bali.
Mereka perbah menculik seorang penari jaipong dan membawanya untuk bisa
mengklaim budaya kita.” jelasku panjang kali lebar pada Ila.
Lalu
Ila diam-diam sedang browsing tentang Red Criminal. Sementara Dimas hanya
mendengarkan ceritaku. Sepertinya ia sedang merenungkan sesuatu. Saat ia
selesai merenung, Dimas menatapku. Aku mengerutkan keningku. Seolah mengerti
Dimas ingin berucap
“Aku
juga pernah mendengar organisasi Red Criminal. Dan aku tahu siapa salah satu
komplotan dari mereka. Kalian harus tahu mereka terdiri dari 5 orang anggota.
Pemimpin mereka sebenarnya adalah orang dari Indonesia, dulu ia temanku, tapi
ia berkhianat pada Tanah Air karena ia berfikir ‘Di Indonesia tidak ada yang
bisa melindungi budayanya sendiri. Maka dari itu ia menculik dan menyelundupkan
hasil alam, biota alam dan budaya Indonesia yang ada ke Belanda. Karena
menurutnya Belanda yang menjajah Indonesia selama 3,5 abad mampu melindungi
budaya Indonesia. Sementara itu pemerintahan Belanda belum menyadari
gerak-gerik mereka.” jelas Dimas.
Sekarang
kami berada di sel penjara dengan pengawasan ekstra ketat, tapi mereka belum
menyadari tentang gerak-gerik kami sekarang.
“Apa
yang kau maksud ketua organisasi itu adalah Yudha? Yudha Dharma?” tanyaku
melotot pada Dimas, sementara Ila masih sibuk dengan benda elektroniknya.
“Ya,
dia adalah Yudha, Yudha Dharma. Teman masa kecilku. Sudahlah, kita harus segera
bertindak. Ila, sudahkah kau temukan informasi tentang organisasi Red Criminal?”
tanya Dimas pada Ila.
“Sudah,
benar Red Criminal sekarang ada di Indonesia, tepatnya di Bali. Mereka
membangun markas di dekat pelabuhan agar mudah melarikan diri bila ketahuan.
Mereka ada di kota Cekik. Kau benar Dimas, ketua organisasi Red Criminal adalah
Yudha Dharma. Sebenarnya pemerintah Belanda sudah mengetahui tentang mereka,
tetapi belum mengetahui tujuan organisasi Red Criminal.” jelas Ila sambil
membaca penjelasan yang ia dapat di beberapa website dan jejaring sosial.
“Kita
harus ke Cekik sekarang. Dengarkan aku, ini rencananya. Ingat misi kita adalah
menyelamatkan Harta Indonesia, Budaya KITA. Yudha kesalahan besar bila tidak
ada yang bisa melindungi budaya INDONESIA. Kita, kita akan membuktikan kepada
Yudha bahwa kita bisa melindungi Budaya Indonesia…” Dimas menjelaskan
rencananya pada ku dan Ila. Kami hanya manggut-manggut mendengar rencananya.
Tetap saja senjata yang kami gunakan adalah senjata api palsu yang berisi saos,
sambal dan parfum berbau mematikan.
Daaarrr..
Suara senapan api yang kami buat-buat, padahal itu hanya bunyi rington ponsel
Dimas.
“Tembakan,
kita di serang.” ucap salah satu dari Pak Poisi.
“Haha,
itu adalah kawan-kawan kami yang akan menyelamatkan kami.” ucapku berbohong.
“Kalian
pikir aku percaya? kalian hanya beranggotakan 3 orang.” sahut Pak komandan.
“Kami,
diam-diam membentuk pasukan senjata, Polisi tolol.” teriak Ila sewot. Polisi
menjadi panik karena pernyataan dari Ila.
Sementara itu Polisi yang membawa kunci sel tahanan berlari kesana-kemari. Aku
berharap kunci sel tahanan itu jatuh agar kami bisa menyelamatkan Budaya
Nusantara. Crriingg.. suara kunci jatuh itu bagaikan hentakan kaki seorang
penari yang membuat getaran pada jiwa nasionalismeku. Seketika Dimas
berjongkok, dan mencoba meraih kunci itu, sementara para Polisi disibukkan oleh
pengawasan di sekitar kantor Polisi. Heh, mereka benar-benar tertipu. Saat
Dimas berhasil meraih kunci itu, Dimas langsung memasukkan kunci itu pada
lubang kunci. Dan pintu sel itu terbuka setelah Dimas memutar kunci itu.
Kami segera
berlari ke pelabuhan, tak ada seorang Polisi pun yang mengetahui kami. Saat
kami sampai di depan pelabuahan, kami bingung untuk mengemudikan kapal yang
mana. Tetapi Dimas memutuskan menggunakan kapal boat yang biasa di gunakan oleh
nelayan di sekitar sana. Kami tentu saja menyewa kapal itu. Dimas-lah yang
mengemudikan kapal, aku dan Ila mencoba menyusun setrategi persenjataan.
Padahal jelas kami hanya akan menggunakan senjata itu-itu saja. Dimas
mengemudikan kapal boat ini dengan kecepatan tinggi.
Gelombang
laut yang melewati selat Bali ini sedikit menggoyangkan kapal ini. Tapi, dengan
kegigihan seorang Dimas, kami berhasil melalui itu semua. Untuk perjalanan dari
Jawa ke Galimanuk kami hanya membutuhkan waktu 1 jam. Setelah kami sampai
banyak orang yang menatap aneh pada kami, pasalnya kami sedang menggunakan
pakaian serba hitam dan berbalut jubah hitam, dan yang membuat orang heran
adalah kami memakai topeng khas betawi. Kami melangkah pergi dari pelabuhan.
Ila berkata
“Kita
sewa saja mobil untuk ke Cekik.” Aku dan Dimas Setuju dengan usul Ila.
Nyihihihi…
Suara kikikkan Kuda yang kami kendarai membuat hatiku sedikit takut karena aku
jarang menunggang kuda. Ya, kami tidak mendapat sewaan mobil, yang kami temukan
hanya tempat pelatihan kuda. Kami menyewa 3 kuda. Kata Pak pelatih di sana
dengan menunggang kuda menuju Cekik kami membutuhkan waktu 1,5 jam. Kami
melewati berbagai pemandangan yang merupakan kekayaan Indonesia, aku bangga
menjadi Bangsa Indonesia. Saat, menunggang kuda aku kembali teringat pada tokoh
pahlawan idolaku, yaitu R.A Kartini. Aku sangat mengaguminya karena ialah yang
memperjuangkan hak emansipasi wanita. Tapi, pikiranku tentang Pahlawan idolaku
harus terhenti karena kami harus berjuang mempertahankan Budaya Indonesia.
Tik,
Tok, Tik, Tok, Tik… setiap detik jarum jam telah kami laluli, dan sampailah
kami di Cekik. Ila sudah berhasil melacak keberadaan markas mereka. Jadi, kami
bisa langsung menuju ke tempat tersebut. Tempat itu lebih buruk dari markas
kami, lebih kotor dan tidak terurus. Kami turun dari kuda kami masing-masing.
Dimas kembali memberi instruksi, kami pun bergerak sesuai instruksi.
Syaaatt…
Suara sayatan benda tajam yang di gunakan organisasi Red Criminal. Ya, kami
tertangkap basah oleh organisasi kere ini saat kami akan membebaskan para
penari tradisional Nusantara. Memang benar mereka beranggotakan 5 orang, dan
kami? kami hanya 3 orang dan senjata kami hanyalah senjata mainan. Apa kami
akan selamat? Ya, Tuhan bantulah kami.
Untung
saja kami sempat belajar bela diri dari seorang jawara terkenal di Desa. Kalau
tidak? tamatlah riwayat Jubah Hitam sekarang.
“Ternyata
kalian Dimas, Ajeng, Ila. Apa Indonesia sudah becus menjaga Budayanya? Kurasa
tidak ada yang sadar bila Budaya Indonesia harus di jaga.” seru seseorang dari
balik pintu, lalu ia keluar. Ya, dia, dia adalah Yudha Dharma teman masa kecil
Dimas.
Dimas
menatap tajam Yudha, tanpa aba-aba Dimas langsung maju untuk menghajar penjahat
kelas kakap itu. Saat mereka bertarung, aku dan Ila membebaskan tawanan dan
biota alam Indonesia. Sementara untuk barang-barang Budaya Indonesia seperti
pakaian untuk penari-penari tadi kami masukkan ke dalam tas jelajah yang
berukuran lumayan besar.
“Yudha,
kami berjuang untuk melindungi Budaya Indonesia. Kami, membentuk organisasi
Jubah Hitam untuk itu. Kau tahu senjata ini? senjata ini hanya mainan. Kami
tidak pernah melukai siapa pun. Kami mencuri, mencuri barang Harta Indonesia
yang akan di selundupkan ke luar negeri. Bila kami berhasil mencuri, kami
mengirim benda-benda itu ke tempat yang seharusnya. Kau harus tahu itu Yudha.”
teriakku emosi. Saat itu aku dan Ila sudah berhasil melumpuhkan 4 kawanan Red
Criminal. Yudha yang mendengar perkataan kami tertegun, tapi nampaknya ia tak
percaya akan ucapanku.
“Kalian
pembohong.” bentak Yudha.
“Kami tidak
berbohong. Kau bisa lihat di koran bahwa kami adalah buronan.” Teriak Ila tak
kalah emosi.
“Kalian
pembohong.” untuk kedua kalinya Yudha meninggikan oktaf suaranya.. ’SYAT’ suara
sayatan pisau tajam itu mengenai leher Dimas. Aku dan Ila yang menyaksikan itu
segera maju dan aku langsung menghantam Yudha dengan tinju terbaikku.
“Yudha..
ka..kau.. ad.. adalah, sa.. sahabat, terbaikku. Ka, kami berjuang, un.. untuk
melindungi INDONESIA.” jelas Dimas terbata-bata dan memberi penakanan pada kata
terakhirnya, dan akhirnya Dimas meninggal.
Ila
yang juga merasa tak terima atas kematian Dimas langsung menendang perut Yudha,
tapi Ila kalah cepat dengan Yudha. Yudha memegang kaki Ila, lalu menariknya dan
menancapkan pisau di perut Ila lalu menariknya lagi perlahan. Mataku memerah,
nafasku terengah-engah saat melihat hal tersebut.
“Yudha…
Kau brengsek, kau tolol, kau bodoh. Aaaa..” teriakku emosi pada Yudha yang
telah membunuh 2 sahabatku.
Jleeepp..
Suara tusukkan itu membuat jantungku berdebar. Ia berhasil menusuk pahaku,
sehingga aku tak bisa bergerak. Ya, saat aku akan memukulnya, ia menancapkan
pisau di pahaku lalu mencabutnya. Air mataku sudah tak tertahankan lagi, air
mata ini sudah turun dengan derasnya.
“Kau
boleh membunuhku, Yudha. Tapi, kau akan menyesal. Tapi kami tak akan menyesal
untuk mati, karena kami telah melindungi apa yang kami cintai. Yaitu,
INDONESIA.” kata-kataku seolah mengguncang hati nurani Yudha.
Wiu,
Wiu, Wiu… Suara itu, suara sirine. Aku yakin Polisi telah menyadari kaburnya
sindikat Jubah Hitam. Aku tak bisa kabur lagi, dengan sedikit tenaga, aku
membuka topengku dan topeng ke dua sahabatku.
“Kau
boleh lari Yudha. Tapi, jangan ambil apa yang kami cinta.” ucapku tegas. Yudha
membatu di tempat, ia menjatuhkan pisaunya. Dan polisi masuk ke dalam markas
organisasi Red Criminal yang menurutku kumuh ini. Yudha dan organisasinya di
tangkap, dan ke dua mayat sahabatku di amankan Polisi, sementara aku di bawa ke
kantor Polisi di Ibu Kota Negara Indonesia.
Kedua
sahabtku telah di makamkan, sekarang aku harus berjuang untuk membersihkan nama
baik mereka dan nama baik Jubah Hitam. Hari ini tepatnya Senin, 15 Oktober 1997
pukul 10.00 WIB aku berada di ruang sidang.
“Kami
membentuk organisasi ini untuk melindungi Budaya Indonesia. Kami mencuri,
mencuri di tempat orang-orang yang ingin menjual harta Nusantara. Tetapi, kami
tidak pernah menjual barang-barang itu. Kami mengirimnya ke tempat benda itu
seharusnya berada. Bila tidak percaya, cek di via JNE. Sebelum kematian Alm.
Sahabatku Ila, dia sempat mengirim Harta Tanah air ke museum yang ada di Jogja.
Dan saat kami di tangkap di Bali, saat itu kami menyelamatkan para tawanan,
biota alam dan benda tradisional Indonesia. Kami berperang melawan teman kami
sendiri Red Criminal, Yudha. Kalian telah menghukum mati Yudha. Apa kalian
ingin menghukum aku juga?” jelasku pada pihak yang berwenang, penjelasanku di
saksikan oleh Pak Presiden. Jantungku berdebar menunggu jawaban dari para orang
hebat di depanku ini.
Wussshh…
Suara desiran angin ini mengingatkanku pada kejadian 15 Oktober kemarin. Pak
Presiden memutuskan aku akan di penjara selama 3 tahun mulai besok, mereka
memberikanku waktu bebas sehari, yaitu hari ini. Tetapi, aku tetap di kawal
oleh Polisi yang menurutku tolol. Sekarang aku berada di depan makam ke tiga
sahabatku Dimas, Ila dan Yudha. Aku senang bisa berjuang melindungi Budaya
Indonesia. Tetapi, aku sadar bahwa cara kami salah. Kami salah strategi untuk
melindungi apa yang kami cinta.
Sahabat
akan selalu di hati, inikah yang dinamakan Kekejaman Cinta Budaya? Heh,
menurutku ini sangat kejam, tapi lebih kejam lagi seseorang yang mencuri hak
orang lain.
Janji
kami telah terpenuhi, kami sudah menyerah dan mengikuti proses hukum, dan yang
membuatku bahagia. Pak Presiden mengucapkan terima kasih pada Jubah Hitam. Ini
sangat menggembirakan.
Aku
Cinta Budaya kita, Budaya Indonesia, Budaya Nusantara, Budaya Tanah Air. AKU
BANGGA JADI ANAK INDONESIA.