Selasa, 13 Mei 2014

CERPEN KEKEJAMAN CINTA BUDAYA

Tik.. Tok.. Tik.. Tok.. Tik….
Suara detikan jarum jam di ruangan gelap ini membuat jantungku terasa ingin keluar dari tempatnya. Perkenalkan aku Ajeng Rahayu, aku adalah lulusan dari UNS atau yang sering di sebut Universitas Sebelas Maret, aku lulusan S1 Sastra Jawa.
Di sini hanya ada aku, gelap, dan benda-benda hebat yang pernah ada di Indonesia. Sekarang tepat pukul 01.00 WIB, dan aku berada di ruang koleksi seorang rentenir terkenal di Desaku. Koleksi ini bukanlah hal yang benar menurutku, karena koleksi-koleksinya ini akan di jual ke Negara lain dengan cara di selundupkan. Ya, mereka tidak mendapat izin dari Negara untuk memperjual belikan barang-barang ini, tapi si rentenir tolol itu tetap saja menjualnya. Kalian harus tahu bahwa benda-benda koleksi rentenir tolol yang bernama Pak Norman ini bukan hanya sekedar benda ecek-ecek yang di perjual belikan di pasar, melainkan ini adalah harta Negara. Harta Negara yang kumaksud bukanlah uang ataupun emas yang berlimpah, melainkan Budaya Indonesia. Budaya yang seharusnya di lindungi malah di jual oleh rentenir tolol itu. Sebenarnya aku adalah pimpinan dari suatu sindikat yang di cari-cari oleh polisi, yaitu sindikat jubah hitam. Anggota sindikat jubah hitam adalah aku, Ila Keila dan Dimas Dirgantara.
Huuufft..
Hampir saja aku mati karena loncat dari lantai 2 ruangan tadi. Aku berhasil mengambil barang yang akan di jual rentenir tolol itu, benda itu berupa DVD yang berisi gerakkan 5 tarian khas Indonesia, yaitu tari saman, tari kecak, tari orek-orek, tari remo dan tari jaipong. Benda yang lain berupa beberapa alat untuk menarikan tarian orek-orek dan tari saman, aku jelas tahu apa yang akan di lakukan orang-orang yang membeli barang-barang ini, pasti mereka ingin mengklaim budaya Indonesia. Setelah aku loncat dari lantai 2 tadi, aku harus berjumpa lagi dengan teman-teman sindikatku. Ya, mereka memang ku suruh untuk berjaga di bawah.
“Ayo, aku sudah berhasil mengambil barangnya.” ucapku pelan ketika aku sudah berhasil menemukan mereka, dan kami mulai berjalan mengendap-endap.
“Kau yakin itu barangnya?” tanya Dimas memastikan.
“Tentu saja ini barangnya, Dim. Kali ini kita ke manakan barang ini?” tanyaku sambil menunjuk tas besar yang berada di punggungku.
“Besok kita akan paketkan barang-barang itu ke museum yang berada di kota. Biar mereka saja yang mengamankan.” jawab Dimas saat kami sudah hampir sampai di tempat parkir mobil sindikat kami. Seusai penjelasan Dimas, kami langsung berlari menuju mobil PW hitam itu.
Blaammm…
Suara pintu mobil yang kami tutup telah membangunkan anjing penjaga rumah itu, anjing itu mengaung-aung untuk memanggil si majikan. Tapi, dengan sigap Dimas langsung melajukan mobil kami untuk pergi dari tempat biadap ini.
“Woi, komplotan jubah hitam!! kembalikan barangku!!” teriak Pak Norman si rentenir tolol itu yang baru saja keluar dari rumah saat mendengar gonggongan anjing penjaga rumah. Tentu saja kami tak menghiraukan teriakkan rentenir tolol itu.
“Ila, besok kau paketkan barang-barang ini ke museum yang berada di Jogja. Terserah mau museum yang mana.” ucap Dimas datar.
“Baiklah, Dim. Itu sangat mudah untuk seorang Ila.” jawab Ila sambil membanggakan diri.
“Ajeng, apa yang kita lakukan ini sudah benar?” tanya Ila secara tiba-tiba padaku.
“Hei, Ila. Tentu saja ini benar, walaupun cara kita sedikit salah. Kita menyelamatkan harta Negara. Seharusnya Pak Presiden berterima kasih pada kita, bukannya melacak sindikat kita. Aku sedih dengan keadaan Indonesia sekarang. Banyak orang yang tidak mau mempelajari budaya sendiri. Apa perasaan kalian sama denganku?” tanyaku balik pada kedua Sahabatku.
“Kami juga merasa begitu.” jawab keduanya kompak. Tak butuh waktu lama kami sudah sampai di markas rahasia kami yang terletak di perbatasan Desa.
Brraaakk..
Suara pintu berwarna hitam itu di tutup oleh Ila. Aku berjalan menuju kursi kayu sederhana yang berada di sudut ruangan lalu aku menaruh tas besar yang berisi barang-barang tadi. Sementara Ila bersandar di pintu, sedangankan Dimas lebih memilih untuk bersandar di dekat jendela.
“Setelah misi ini apakah ada misi yang lain, Ila?” tanyaku memecah keheningan.
“Hmm, menurutku belum ada.” ucap Ila sambil memegang benda elektronik yang berbentuk pipih itu. Ya, memang dari sindikat kami yang paling mengerti tentang benda Elektronik adalah Ila, maka ia kami percaya untuk membuat jejaring sosial. Dari situlah ia mendapat berbagai informasi, terkadang ia juga browsing internet untuk mendapat informasi kejahatan-kejahatan. Aku menghela nafas saat mendengar jawaban dari Ila. Aku yakin Ila saat ini sedang browsing internet tentang biaya pengiriman paket melaluli via JNE.
“Untuk mengirim paket ke museum kita butuh uang Rp 30.000,00. Menurutku itu tidak masalah. Bagaimana?” tanya Ila, benarkan dugaanku tentang Ila yang sedang browsing di via JNE.
“Menurutku juga tidak masalah. Besok kau harus segera mengirimnya, Ila!!” perintah Dimas.
“Baik Tuan cerewet.” jawab Ila sewot.
“Aku lelah, aku ingin istirahat.” ucapku bangkit dari posisi dudukku dan berjalan menjauh dari mereka.
“Ahh, tunggu, satu lagi. Kalian ingatkan perjanjian kita bila kita sudah tak bisa lagi melakukan apa-apa untuk Indonesia?” tanyaku tiba-tiba tanpa membalikkan badanku.
“Tentu kami masih ingat. Bila kita sudah tak berguna, kita akan menyerahkan diri pada Polisi dan bersedia menjalani hukum yang berlaku, tapi sebelum itu Pak Presiden harus berterima kasih dulu pada Sindikat Jubah Hitam.” jelas Ila mengungkapkan janji yang dulu pernah kami ikrarkan.
“Bagus.” jawabku singkat lalu melanjutkan langkahku menuju kamar.
“Dia terlalu pesimis. Maksudku pesimis bahwa kita tak berguna untuk Bangsa. Benar bukan?” tanya Dimas saat aku sudah meninggalkan ruangan bernuansa klasik tadi. Padahal aku masih mendengar percakapan mereka.
“Bukan begitu, Dimas. Ajeng hanya takut bila kita tertangkap dan masih banyak kejahatan di luar sana yang belum terselesaikan.” jawab Ila sinis.
“Hei, Indonesia adalah Negara Hukum. Bukan negara sekumpulan orang bodoh yang membiarkan banyak kejahatan di mana-mana.” balas Dimas tak kalah sinis.
Hhhh..
Aku menghela nafas saat mendengar ke 2 sahabatku ini berdebat.
“Iihh, Dimaass” jengkel Ila sambil menghentak-hentakkan kakinya.
“Hmmpp” tawaku yang tertahan membuat mereka tersadar bahwa aku masih berada di dekat ruang tempat mereka beradu mulut.
Dan kekehanku yang tertahan mengakhiri pertemuan kami pagi ini. Benar saja ini sudah pagi, sekarang sudah pukul 02.11 WIB. Akhirnya kami bergegas untuk tidur di kamar masing-masing.
Keesokkan harinya tepat pukul 08.05 WIB Ila baru saja pulang dari memaketkan Harta Indonesia yang kami cintai. Ila yang sedang membaca koran yang ia beli langsung menghampiri aku dan Dimas yang sedang bermain catur.
Brraass, suara koran yang di hempaskan Ila di atas papan catur membuat aku dan Dimas terkejut. Aku langsung meraih koran itu, sementara Dimas menatap Ila heran.
“Apa? penyelundupan burung elang Jawa? dan pakaian adat Jawa?” tanyaku menaikkan sedikit frekuensi suaraku.
“Yup, kita harus bertindak. Polisi terlalu tolol untuk melacak mereka, aku sudah menemukan tempat transaksi itu. Tepatnya ada di pelabuhan Galimanuk berada di selat Bali. Apa kita akan ke sana? kita butuh waktu 3 jam dari sini. Bagaimana?” jelas Ila.
“Segera bersiap kita akan ke sana.” seru Dimas sambil berdiri lalu pergi.
Brumm..
Suara deruan mobil-mobil yang berlalu lalang di jalan raya, untung saja kami tidak terhalang oleh macet. Kami sudah hampir sampai di pelabuhan yang menghubungkan antara Jawa dan Bali. Di sepanjang perjalanan kami menyusun rencana untuk bisa merebut kembali biota alam Indonesia & Budaya Indonesia tersebut. Polisi memang tolol tidak bisa melacak keberadaan mereka, mereka hanya mendapat kabar angin tentang hal tersebut. Ciiitt, suara decitan rem mobil membuat kami siap siaga untuk menjalankan siasat kami.
“Sekarang!! Bergerak!!” seru Dimas lantang. Kami langsung keluar dari mobil dan berlari ke tempat masing-masing. Kami hanya berbekal senjata api. Tapi, sebenarnya kami tak pernah menggunakan senjata api yang berisikan peluru. Kami hanya menggunakan senjata api yang berisikan cairan-cairan yang bisa melumpuhkan penjahat. Seperti saos, sambal dan parfum yang berbau mematikan. Kami bergerak sesuai rencana yang di susun oleh Dimas.
Saat Dimas memberi kode, barulah kami menarik topeng betawi yang kami gunakan untuk menutupi wajah kami. Selama kami bersindikat jubah hitam, tidak ada satu pun yang mengetahui wajah kami. Itulah yang membuat pemerintah jengkel pada kami, karena tak bisa mengetahui siapa kami. Dimas maju dengan gagah, ia menodongkan senjatanya dan berucap
“Jangan bergerak! hentikan transaksi ini, atau kalian berurusan dengan kami.” Aku pun terkagum-kagum karenanya.
“Hahahaha..” gelak tawa para transaksi gelap itu membuat aku, Ila dan Dimas bingung.
“Ternyata sindikat jubah hitam sangat mudah di jebak. Tangkap mereka. Aku Suwarji, Polisi dari Polda Metro Jaya.” Ucap salah satu dari mereka sambil menunjukkan dompet yang berisikan identitasnya.
Seketika kami terkejut oleh ucapan orang tua itu. Aku, Ila dan Dimas langsung panik. Seketika dari belakang kami masing-masing ada orang yang menjerat kami dengan besi bulat yang melingkar di pergelangan tangan kami.
“Sial.” umpatku. Kami di bawa ke kantor Polisi terdekat untuk di tahan sementara waktu di tempat itu.
Hah?
Kejutku saat aku membaca sedikit berita di kantor Polisi. Aku melihat berita itu di dinding informasi orang yang di cari.
“Ila, identitas kita belum terbongkar. Bisakah kau cari tahu tentang sindikat organisasi Red Criminal. Organisasi jahat berasal dari Belanda sedang ada di Indonesia, di duga mereka menyebarkan barang terlarang di Indonesia, tepatnya ada di Bali. Polisi tidak becus untuk mengatasi mereka. Aku pernah mendengar organisasi ini selain menyebar barang Terlarang, mereka juga pernah mencuri Harta Suatu Bangsa. Bila mereka di Indonesia, mereka sedang mengincar Bali. Mereka perbah menculik seorang penari jaipong dan membawanya untuk bisa mengklaim budaya kita.” jelasku panjang kali lebar pada Ila.
Lalu Ila diam-diam sedang browsing tentang Red Criminal. Sementara Dimas hanya mendengarkan ceritaku. Sepertinya ia sedang merenungkan sesuatu. Saat ia selesai merenung, Dimas menatapku. Aku mengerutkan keningku. Seolah mengerti Dimas ingin berucap
“Aku juga pernah mendengar organisasi Red Criminal. Dan aku tahu siapa salah satu komplotan dari mereka. Kalian harus tahu mereka terdiri dari 5 orang anggota. Pemimpin mereka sebenarnya adalah orang dari Indonesia, dulu ia temanku, tapi ia berkhianat pada Tanah Air karena ia berfikir ‘Di Indonesia tidak ada yang bisa melindungi budayanya sendiri. Maka dari itu ia menculik dan menyelundupkan hasil alam, biota alam dan budaya Indonesia yang ada ke Belanda. Karena menurutnya Belanda yang menjajah Indonesia selama 3,5 abad mampu melindungi budaya Indonesia. Sementara itu pemerintahan Belanda belum menyadari gerak-gerik mereka.” jelas Dimas.
Sekarang kami berada di sel penjara dengan pengawasan ekstra ketat, tapi mereka belum menyadari tentang gerak-gerik kami sekarang.
“Apa yang kau maksud ketua organisasi itu adalah Yudha? Yudha Dharma?” tanyaku melotot pada Dimas, sementara Ila masih sibuk dengan benda elektroniknya.
“Ya, dia adalah Yudha, Yudha Dharma. Teman masa kecilku. Sudahlah, kita harus segera bertindak. Ila, sudahkah kau temukan informasi tentang organisasi Red Criminal?” tanya Dimas pada Ila.
“Sudah, benar Red Criminal sekarang ada di Indonesia, tepatnya di Bali. Mereka membangun markas di dekat pelabuhan agar mudah melarikan diri bila ketahuan. Mereka ada di kota Cekik. Kau benar Dimas, ketua organisasi Red Criminal adalah Yudha Dharma. Sebenarnya pemerintah Belanda sudah mengetahui tentang mereka, tetapi belum mengetahui tujuan organisasi Red Criminal.” jelas Ila sambil membaca penjelasan yang ia dapat di beberapa website dan jejaring sosial.
“Kita harus ke Cekik sekarang. Dengarkan aku, ini rencananya. Ingat misi kita adalah menyelamatkan Harta Indonesia, Budaya KITA. Yudha kesalahan besar bila tidak ada yang bisa melindungi budaya INDONESIA. Kita, kita akan membuktikan kepada Yudha bahwa kita bisa melindungi Budaya Indonesia…” Dimas menjelaskan rencananya pada ku dan Ila. Kami hanya manggut-manggut mendengar rencananya. Tetap saja senjata yang kami gunakan adalah senjata api palsu yang berisi saos, sambal dan parfum berbau mematikan.
Daaarrr..
Suara senapan api yang kami buat-buat, padahal itu hanya bunyi rington ponsel Dimas.
“Tembakan, kita di serang.” ucap salah satu dari Pak Poisi.
“Haha, itu adalah kawan-kawan kami yang akan menyelamatkan kami.” ucapku berbohong.
“Kalian pikir aku percaya? kalian hanya beranggotakan 3 orang.” sahut Pak komandan.
“Kami, diam-diam membentuk pasukan senjata, Polisi tolol.” teriak Ila sewot. Polisi menjadi panik karena pernyataan dari Ila.
Sementara itu Polisi yang membawa kunci sel tahanan berlari kesana-kemari. Aku berharap kunci sel tahanan itu jatuh agar kami bisa menyelamatkan Budaya Nusantara. Crriingg.. suara kunci jatuh itu bagaikan hentakan kaki seorang penari yang membuat getaran pada jiwa nasionalismeku. Seketika Dimas berjongkok, dan mencoba meraih kunci itu, sementara para Polisi disibukkan oleh pengawasan di sekitar kantor Polisi. Heh, mereka benar-benar tertipu. Saat Dimas berhasil meraih kunci itu, Dimas langsung memasukkan kunci itu pada lubang kunci. Dan pintu sel itu terbuka setelah Dimas memutar kunci itu.
Kami segera berlari ke pelabuhan, tak ada seorang Polisi pun yang mengetahui kami. Saat kami sampai di depan pelabuahan, kami bingung untuk mengemudikan kapal yang mana. Tetapi Dimas memutuskan menggunakan kapal boat yang biasa di gunakan oleh nelayan di sekitar sana. Kami tentu saja menyewa kapal itu. Dimas-lah yang mengemudikan kapal, aku dan Ila mencoba menyusun setrategi persenjataan. Padahal jelas kami hanya akan menggunakan senjata itu-itu saja. Dimas mengemudikan kapal boat ini dengan kecepatan tinggi.
Gelombang laut yang melewati selat Bali ini sedikit menggoyangkan kapal ini. Tapi, dengan kegigihan seorang Dimas, kami berhasil melalui itu semua. Untuk perjalanan dari Jawa ke Galimanuk kami hanya membutuhkan waktu 1 jam. Setelah kami sampai banyak orang yang menatap aneh pada kami, pasalnya kami sedang menggunakan pakaian serba hitam dan berbalut jubah hitam, dan yang membuat orang heran adalah kami memakai topeng khas betawi. Kami melangkah pergi dari pelabuhan. Ila berkata
“Kita sewa saja mobil untuk ke Cekik.” Aku dan Dimas Setuju dengan usul Ila.
Nyihihihi…
Suara kikikkan Kuda yang kami kendarai membuat hatiku sedikit takut karena aku jarang menunggang kuda. Ya, kami tidak mendapat sewaan mobil, yang kami temukan hanya tempat pelatihan kuda. Kami menyewa 3 kuda. Kata Pak pelatih di sana dengan menunggang kuda menuju Cekik kami membutuhkan waktu 1,5 jam. Kami melewati berbagai pemandangan yang merupakan kekayaan Indonesia, aku bangga menjadi Bangsa Indonesia. Saat, menunggang kuda aku kembali teringat pada tokoh pahlawan idolaku, yaitu R.A Kartini. Aku sangat mengaguminya karena ialah yang memperjuangkan hak emansipasi wanita. Tapi, pikiranku tentang Pahlawan idolaku harus terhenti karena kami harus berjuang mempertahankan Budaya Indonesia.
Tik, Tok, Tik, Tok, Tik… setiap detik jarum jam telah kami laluli, dan sampailah kami di Cekik. Ila sudah berhasil melacak keberadaan markas mereka. Jadi, kami bisa langsung menuju ke tempat tersebut. Tempat itu lebih buruk dari markas kami, lebih kotor dan tidak terurus. Kami turun dari kuda kami masing-masing. Dimas kembali memberi instruksi, kami pun bergerak sesuai instruksi.
Syaaatt…
Suara sayatan benda tajam yang di gunakan organisasi Red Criminal. Ya, kami tertangkap basah oleh organisasi kere ini saat kami akan membebaskan para penari tradisional Nusantara. Memang benar mereka beranggotakan 5 orang, dan kami? kami hanya 3 orang dan senjata kami hanyalah senjata mainan. Apa kami akan selamat? Ya, Tuhan bantulah kami.
Untung saja kami sempat belajar bela diri dari seorang jawara terkenal di Desa. Kalau tidak? tamatlah riwayat Jubah Hitam sekarang.
“Ternyata kalian Dimas, Ajeng, Ila. Apa Indonesia sudah becus menjaga Budayanya? Kurasa tidak ada yang sadar bila Budaya Indonesia harus di jaga.” seru seseorang dari balik pintu, lalu ia keluar. Ya, dia, dia adalah Yudha Dharma teman masa kecil Dimas.
Dimas menatap tajam Yudha, tanpa aba-aba Dimas langsung maju untuk menghajar penjahat kelas kakap itu. Saat mereka bertarung, aku dan Ila membebaskan tawanan dan biota alam Indonesia. Sementara untuk barang-barang Budaya Indonesia seperti pakaian untuk penari-penari tadi kami masukkan ke dalam tas jelajah yang berukuran lumayan besar.
“Yudha, kami berjuang untuk melindungi Budaya Indonesia. Kami, membentuk organisasi Jubah Hitam untuk itu. Kau tahu senjata ini? senjata ini hanya mainan. Kami tidak pernah melukai siapa pun. Kami mencuri, mencuri barang Harta Indonesia yang akan di selundupkan ke luar negeri. Bila kami berhasil mencuri, kami mengirim benda-benda itu ke tempat yang seharusnya. Kau harus tahu itu Yudha.” teriakku emosi. Saat itu aku dan Ila sudah berhasil melumpuhkan 4 kawanan Red Criminal. Yudha yang mendengar perkataan kami tertegun, tapi nampaknya ia tak percaya akan ucapanku.
“Kalian pembohong.” bentak Yudha.
“Kami tidak berbohong. Kau bisa lihat di koran bahwa kami adalah buronan.” Teriak Ila tak kalah emosi.
“Kalian pembohong.” untuk kedua kalinya Yudha meninggikan oktaf suaranya.. ’SYAT’ suara sayatan pisau tajam itu mengenai leher Dimas. Aku dan Ila yang menyaksikan itu segera maju dan aku langsung menghantam Yudha dengan tinju terbaikku.
“Yudha.. ka..kau.. ad.. adalah, sa.. sahabat, terbaikku. Ka, kami berjuang, un.. untuk melindungi INDONESIA.” jelas Dimas terbata-bata dan memberi penakanan pada kata terakhirnya, dan akhirnya Dimas meninggal.
Ila yang juga merasa tak terima atas kematian Dimas langsung menendang perut Yudha, tapi Ila kalah cepat dengan Yudha. Yudha memegang kaki Ila, lalu menariknya dan menancapkan pisau di perut Ila lalu menariknya lagi perlahan. Mataku memerah, nafasku terengah-engah saat melihat hal tersebut.
“Yudha… Kau brengsek, kau tolol, kau bodoh. Aaaa..” teriakku emosi pada Yudha yang telah membunuh 2 sahabatku.
Jleeepp..
Suara tusukkan itu membuat jantungku berdebar. Ia berhasil menusuk pahaku, sehingga aku tak bisa bergerak. Ya, saat aku akan memukulnya, ia menancapkan pisau di pahaku lalu mencabutnya. Air mataku sudah tak tertahankan lagi, air mata ini sudah turun dengan derasnya.
“Kau boleh membunuhku, Yudha. Tapi, kau akan menyesal. Tapi kami tak akan menyesal untuk mati, karena kami telah melindungi apa yang kami cintai. Yaitu, INDONESIA.” kata-kataku seolah mengguncang hati nurani Yudha.
Wiu, Wiu, Wiu… Suara itu, suara sirine. Aku yakin Polisi telah menyadari kaburnya sindikat Jubah Hitam. Aku tak bisa kabur lagi, dengan sedikit tenaga, aku membuka topengku dan topeng ke dua sahabatku.
“Kau boleh lari Yudha. Tapi, jangan ambil apa yang kami cinta.” ucapku tegas. Yudha membatu di tempat, ia menjatuhkan pisaunya. Dan polisi masuk ke dalam markas organisasi Red Criminal yang menurutku kumuh ini. Yudha dan organisasinya di tangkap, dan ke dua mayat sahabatku di amankan Polisi, sementara aku di bawa ke kantor Polisi di Ibu Kota Negara Indonesia.
Kedua sahabtku telah di makamkan, sekarang aku harus berjuang untuk membersihkan nama baik mereka dan nama baik Jubah Hitam. Hari ini tepatnya Senin, 15 Oktober 1997 pukul 10.00 WIB aku berada di ruang sidang.
“Kami membentuk organisasi ini untuk melindungi Budaya Indonesia. Kami mencuri, mencuri di tempat orang-orang yang ingin menjual harta Nusantara. Tetapi, kami tidak pernah menjual barang-barang itu. Kami mengirimnya ke tempat benda itu seharusnya berada. Bila tidak percaya, cek di via JNE. Sebelum kematian Alm. Sahabatku Ila, dia sempat mengirim Harta Tanah air ke museum yang ada di Jogja. Dan saat kami di tangkap di Bali, saat itu kami menyelamatkan para tawanan, biota alam dan benda tradisional Indonesia. Kami berperang melawan teman kami sendiri Red Criminal, Yudha. Kalian telah menghukum mati Yudha. Apa kalian ingin menghukum aku juga?” jelasku pada pihak yang berwenang, penjelasanku di saksikan oleh Pak Presiden. Jantungku berdebar menunggu jawaban dari para orang hebat di depanku ini.
Wussshh…
Suara desiran angin ini mengingatkanku pada kejadian 15 Oktober kemarin. Pak Presiden memutuskan aku akan di penjara selama 3 tahun mulai besok, mereka memberikanku waktu bebas sehari, yaitu hari ini. Tetapi, aku tetap di kawal oleh Polisi yang menurutku tolol. Sekarang aku berada di depan makam ke tiga sahabatku Dimas, Ila dan Yudha. Aku senang bisa berjuang melindungi Budaya Indonesia. Tetapi, aku sadar bahwa cara kami salah. Kami salah strategi untuk melindungi apa yang kami cinta.
Sahabat akan selalu di hati, inikah yang dinamakan Kekejaman Cinta Budaya? Heh, menurutku ini sangat kejam, tapi lebih kejam lagi seseorang yang mencuri hak orang lain.
Janji kami telah terpenuhi, kami sudah menyerah dan mengikuti proses hukum, dan yang membuatku bahagia. Pak Presiden mengucapkan terima kasih pada Jubah Hitam. Ini sangat menggembirakan.
Aku Cinta Budaya kita, Budaya Indonesia, Budaya Nusantara, Budaya Tanah Air. AKU BANGGA JADI ANAK INDONESIA.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar